Share

Get This


Get this widget!

Selamat datang para kawan semua, Mudah-mudahan dengan adanya web ini dapat bermanfaat

Pages

Selasa, 21 April 2015

KIMIA MEDIK

 

I. PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.

    Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti    dihidrofolat  reduktase, asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormone dan neurotransmitter). 2 Reseptor   bagi   ligan endogen   seperti ini  pada   umumnya sangat spesifik (hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan).     
            
     Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan  melakukan efek regulator   seperti sinyal endogen ini dinamakan  agonis Ada obat   yang juga   berikatan   dengan   reseptor   fisioloigs   namun   tanpa   menghasilkan   efek   regulator   dan   menghambat   kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan  bloker.   Obat yang   berikatan  dengan   reseptor   dan   hanya   menimbulkan   efek   agonis   sebagian   tanpa memedulikan   jumlah   dan   konsentrasi   substrat   disebut  agonis   parsial.  Obat   agonis-parsial   bermanfaat   untuk mengurangi efek   maksimal agonis  penuh, oleh  karena   itu   disebut   pula   dengan    istilah antagonis parsial Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif.
Obat harus berintekasi dengan target aksi obat (salah satunya adalah reseptor) untuk dapat menimbulkan efek. Interaksi obat dan reseptor dapat membentuk komplek obat-reseptor yang merangsang timbulnya respon biologis, baik respon antagonis maupun agonis.Mekanisme timbulnya respon biologis dapat dijelaskan dengan teori obat reseptor.
Ada beberapa teori interaksi obat reseptor, antara lain yaitu teori klasik, teori pendudukan, dan teori kecepatan.

B.  Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1)        Untuk mengetahui hubungan eek obat dengan efek maksimum
2)        Untuk mengetahui konsep molekul tentang fungsi reseptor
3)        Untuk mengetahui sifat molekul pada reseptor obat
4)        Untuk mengetahui konsep molekul tentang fungsi reseptor




I. PEMBAHASAN


A.       Hubungan Eek Obat dengan Efek Maksimum
Sejak kira-kira tahun 1970, kemajuan metodologi menghasilkan cara rutin untuk mengukur langsung ikatan obat pada reseptor. Teori klasik diperlukan, yaitu berdasarkan pada pengukuran efek akhir kerja obat- suatu efek yang ditimbul beberapa langkah sebelum proses ikatan obat-reseptor. Hal itu karena pendekatan modern lebih mengikuti tingkat molekul, sedangkan metodologi farmakologi kuno bekerja pada tingkat sel dan organism. Tentu saja kedua jalan itu mempunyai keuntungan dan kerugian. Teori pendudukan Clark yang kalasik didasarkan pada anggapan bahwa obat berantaraksi dengan sisi ikatan bebas yang sama, lalu mengaktifkannya, dan menghasilkan respon hayati yang sebanding dengan jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk. Respon ini berhenti bila kompleks tersebut berdisosiasi. Dengan menganggap reaksi itu merupakan reaksi dwimolekul, sehingga dapat dituliskan sebagai berikut.
D + R              DR
 Ket : D = obat, dan R= reseptor
Tetapan disosiasi pada keadaan seimbang yaitu
KD =
Efek (E) berbanding lurus dengan kadar kompleks obat-reseptor :
E = α[DR]
Efek maksimumnya (Emaks)  dicapai apabila semua reseptor telah diduduki yaitu
Emaks = α[RT], dimana [RT] = [R] + [DR]
Dan α adalah factor perbandingan. Karena itu dari  KD =  dan Emaks = α[RT] diperoleh :
 =  apabila E = α[DR]  dibagi dengan Emaks = α[RT], maka dihasilkan :
 =  sehingga dari persamaan  =   dan   =  diperoleh :
E =
Gambar 2.1
Pada gambar diatas berdasarkan persamaan E =  yang menyatakan hubungan hiperbola antara efek dan kadar obat bebas, ED50 sama dengan KD. dimana persamaan E =  kebetulan serupa dengan persamaan Michaelis-Menten dalam kinetika enzim yang mana Emaks menggantikan Vmaks. Pada kurva dosis-respons (seperti pada gambar 2.2) biasanya menunjukkan efek dan logaritma kadar obat seluruhnya [DT] dengan menganggap kadar obat yang terikat demikian kecil sehingga dapat diabaikan dan [DT] kira-kira sama dengan [D]. akan tetapi, jika kadar reseptor [RT] menjadi nisbi besar terhadap KD, maka
ED50 = KD + 0,5 [RT]
Yang berarti bahwa pada kadar obat-terikat yang tinggi, kadar obat seluruhnya dapat melebihi KD dengan jumlah yang sama dengan separuh kadar reseptor seluruhnya. Tampaknya keadaan ED50 = KD yang merupakan tidak begitu lazim. Apabila pendudukan beberapa reseptor sudah cukup untuk mendapatkan respons maksimum, seperti biasanya terjadi akan terdapat respon cadangan dan  < 1 dengan harga sebenarnya untuk KD (dan dengan demikian afinitas obat terhadap reseptor) akan ternilai rendah. Keadaan ini menunjukkan terjadinya ‘kesesuaian terimbas’, karena tampak bahwa sejumlah kecil molekul agonis dapat memicu perubahan konformasi pada banyak reseptor dan mengakibatkan pengaktifan sejumlah besar reseptor, melebihi yang diperlukan. Konsep reseptor ‘cadangan’ dapat dikaitkan dengan gagasan kemanjuran atau aktivitas intrinsic yang berarti bahwa ada obat yang dapat mengaktifkan sdikit reseptor dibandingkan obat lain untuk mendapatkan efek farmakologi sepenuhnya dan dengan demikian obat itu disebut ‘manjur’.
Reseptor cadangan itu dinyatakan dalam kurva dosis-respons untuk aktivitas beberapa hormon peptide, seperti pada gambar 2.3.
diagram sederhana ini membendingkan efek farmakologi hormone peptide pertumbuhan dengan ikatan sel manusia tempatnya bekerja. Efek 100% tercapai dengan baik sebelum reseptor jenuh. System lain misalnya insulin dalam adiposit (sel penyimpanan lemak) menunjukkan juga prilaku serupa. Penyimpanan dari prakiraan teori seperti itu memperlihatkan bahwa kadar reseptor bias penting dalam menilai data dosis-respons seperti pentingnya kadar enzim pada kinetika enzim. Apabila diperlukan ‘ambang’ pendudukan minimum untuk mendapatkan efek hayati, maka ED50 akan melampaui KD sebenarnya.
Gagasan oleh Clark digunakan dengan meluaskan gagasan tersebut untuk memerikan efek bila ada antagonis pesaing (A) oleh Schild.
Jika Y merupakan bagian reseptor yang diduduki yaitu bila Y =   dan kompleks AR tidak aktif maka   =   
Dimana KA adalah tetapan asosiasi antagonis. Jika respons hayati yang sama dapat dicapai pada kadar obat yang lebih rendah [d] tanpa adanya antagonis, maka KD [d] =  
Dari persamaan   =   dan KD [d] =  dapat diperoleh persamaan    = 1 + [A] KA
 adalah ‘nisbah dosis’ yang merupakan persamaan Shild dan terlihat pada gambar 2.2.
Dari persamaan   = 1 + [A] KA   dimana [A]2 merupakan kadar antagonis yang mengharuskan penduakalian kadar agonis untuk mencapai efek agonis murni ( [A]2 =  ) dan  pA2 = - log KA
Hal ini memberikan metode yang mudah untuk mengukur ‘aktivitas’ antagonis.
Perpotongan garis yang dihasilkan adalah K1 =  , KI (tetapan afinitas inhibitor) merupakan efek inhibitor pesaing dimana KI dengan merajahkan kadar inhibitor terhadap kebalikan kecepatan reaksi atau terhadap kebalikan kadar liganda bertanda (agonis bertanda isotop yang digantikan oleh antagonis).

IC50  adalah kadar inhibitor yang menggantikan 50% liganda bertanda, [L*] adalah kadar liganda bertanda dan K* adalah tetapan disosiasinya. Hala ini adalah metode yang tepat untuk percobaan ikatan in vitro, tetapi tidak tepat untuk kajian sediaan organ atau hewan utuh. Hasil percobaan yang maju pesat dan yang memperhitungkan percobaan ikatan in vitro menyokong teori pendudukan yang diubah tentang aktivitas obat. Tetapi ada beberapa gejala yang tidak dapat dijelaskan oleh teori pendudukan yaitu :
1.    Ketakmampuan agonis parsial untuk memberikan respons penuh sewaktu merintangi efek obat yang lebih aktif.
2.    Adanya beberapa obat yang pada mulanya merangsang, kemudian merintangi efek
3.    Pengawapekaan atau tachyphylaxis – penurunan efek agonis karena pengaruh berulang antagonis atau pemberian antagonis dalam kadar yang lebih tinggi
Konsep tentang reseptor cadangan
Teori yang selanjutnya berkembang yaitu teori laju Paton  (yang diubah sesuai oleh Paton dan Rang), dimana teori ini menolak aggapan bahwa respon itu berbanding lurus dengan reseptor yang diduduki, dan sebagai gantinya mengusulkan hubungan respons dengan laju pembentukan kompleks obat-reseptor. Pada teori ini memandang lamanya pendudukan reseptor untuk menentukan apakah suatu molekul itu agonis, agonis parsial, atau antagonis, sehingga konsep aktivitas intrinsic tidak diperlukan lagi. Teori ini mampu menerangkan kemampuan antagonis yang memicu respons sebelum merintangi reseptor dan menerangkan tentang pengawapekaan, tetapi tidak berdasarkan fisikokimia serta bertentangan dengan fakta misalnya lambatnya laju disosiasi agonis.
Ada teori kesesuaian terimbas yang awalnya dikembangkan oleh Koshland untuk ezim yang menyatakan bahwa morfologi sisi ikatan tidak perlu sesuai dengan konformasi liganda bahkan dengan konformasi yang ‘diunggulkan’ sekalipun. Menurut teori ini, pengikatan menyebabkan pencetakan plastis timbale balik antara liganda dan reseptor sebagai suatu proses dinamis. Efek hayati menafsirkan perubahan konformasi yang dipicu oleh kesesuaian-terimbas timbal-balik dalam reseptor makromolekul. Teori ini tidak dapat dipakai untuk penurunan matematik data ikatan, tetapi dapat mengubah gagasan tentang ikatan liganda-reseptor secara menyeluruh dan menghapuskan konsep kuno tentang ‘lubang dan anak kunci’ yang sudah usang dan kaku.
Teori gangguan makromolekul  Belleau erat hunungannya dengan teori kesesuaian-terimbas bahwa agonis mengimbas ketertiban khusus bila terikatpada reseptor dan menyebabkan gangguan konformasi khusus pada reseptor makromolekul. Sebaliknya antagois menyebabkan efek ketaktertiban yang tak-khas. Teori gangguan makromolekul ini menghapuskan keperluan akan konsep afinitas dan aktivitas intrinsic, tetapi dalam bentuk aslinya tidak cukup meliputi semua hal.
B.            Konsep molekul tentang fungsi reseptor
Dalam beberapa pasal terdahulu telah dibahas sejumlah konsep farmakologi klasik berdasarkan hubungan dosis–respons dalam jaringan atau sediaan organ. Kerumitan yang besar pada sistem hidup dan sangat jauhnya jarak antara penyebab dan efek (yaitu pemberian obat dan kerja farmakologi) menimbulkan banyak hal yang ruwet dalam pengkajian hubungan tersebut.
Karena itu, para ahli farmakologi molekul dan fisikawan mencari jalan untuk menyederhanakan sistem percobaan itu sedapat–dapatnya. Mereka menghilangkan beberapa faktor yg tidak perlu dan tidak ada hubungannya, seperti pengangkutan obat dan metabolisme, serta melaksanakannya pada tingkat yang dapat terjangkau dengan percobaan molekul dan metode fisikokimia yg saksama. Sasaran ini makin disadari sebagai metodologi percobaan ikatan kuantitatif pada sediaan membran dan kemudian menjadi lebih canggih, saksama dan sederhana pada reseptor terisolasi. Senyawa bertanda isotop dengan aktivitas sangat tinggi memungkinkan kita bekerja dengan kadar liganda faali serendah tingkat pikomol (10-12 M). Hal ini membuka jalan untuk melakukan percobaan langsung pada sisi reseptor dan mengembangkan beberapa model komplementer. Ariens, Burgen, Changeux, Colquhoun, Cuatrecasas, Hollenberg, Karlin, Seeman, Snyder, Yamamura, dan banyak rekan–rekannya termasuk diantara ahli farmakologi molekul yang berasa di garis depan dalam kemajuan ‘reseptorologi’ yang hebat dan mengagumkan semenjak permulaan tahun 1970-an. Perubahan hebat dalam pemikiran kita tentang reseptor obat masih belum ada tanda-tandanya akan berkurang. Karena itu pembaca diingatkan pada hal yang tak dapat dihindari – bahwa hipotesis yang kita gunakan saat ini hanya berlaku sebentar saja dan isi pasal ini cepat usang.
a)      Sifat molekul pada reseptor obat
Model reseptor pada mulanya didasarkan pada data farmakologi daripada pengukuran ikatan–liganda langsung. Model tersebut menyatakan bahwa agonis dan antagonis sebagai saingannya terikat pada sisi reseptor yang sama sampai ‘memenuhinya’. Pandangan ini sebagian didasarkan pada penemuan dalam bidang enzimologi – disini konsep tersebut pada umumnya sahih untuk persaingan metabolit–antimetabolit dan pada kajian aktivitas vitamin dan hormon. Kemiripan struktur yang sangat dekat antara agonis dan antagonis dalam kelompok ini dijadikan bukti langsung bahwa sisi ikatannya sama. Namun, tidak adanya korelasi struktur antara kebanyakan neurotransmitter dan zat perintangnya menjadi sebab untuk memulai peninjauan kembali hipotesis ikatan kompetitif atau ikatan pesaing.

Pada umumnya diterima bahwa liganda dan sisi reseptornya adalah komplementer menurut pengertian konsep kesesuaian–terimbas; ini menyatakan bahwa terjadi saling peleburan antara obat dan makromolekul yang ‘memanfaatkan’ sepenuhnya antaraksi stereo–elektronik. Pada keadaan terbaik, energi yang dilepaskan saat pengikatan dapat mencapai 40–50 kJ/mol, suatu angka yang setara dengan tetapan keseimbangan ikatan sekitar 10-8–10-9 M, yang menyatakan afinitas tinggi.
Sifat komplementer yang berkaitan dengan kesesuaian terimbas, mengacu pada sifat plastis reseptor makromolekul, dalam arti mampu untuk mengalami perubahan konformasi dan untuk bergabung dengan liganda. Dalam keadaan aktif (yaitu konformasi berbeda), reseptor dapat berantaraksi dengan molekul efektor, yang kemudian meneruskan implus saraf atau tanda lainnya ke jaringan lain. Sifat komplementer ini juga menentukan keselektifan reseptor. Untuk ikatan khas–ruang atau stereo–spesifik, pada umumnya dianggap bahwa liganda harus mempunyai tiga subtituen yang berbeda, hal ini dianggap cukup untuk keselektifan tinggi. Ariens memperkirakan bahwa jika terdapat tiga sisi ikatan yang berbeda (misalnya ikatan hidrogen, sisi ion, dan sisi antaraksi hidrofob), masing–masing dalam lima bentuk mandiri (berkenaan dengan jarak masing–masing sisi ikatan berpasangan), maka reseptor akan terikat dengan afinitas kuat pada hanya satu dari antara sejuta senyawa yang bermacam-macam itu. Semua ‘bentuk mandiri’ pada sisi reseptor tentulah hasil kelentukan reseptor itu.
Kemampuan reseptor untuk berada dalam berbagai bentuk geometri molekul tanpa perubahan berarti dalam fungsinya, mungkin suatu keharusan untuk dapat memahami sifat majemuk kebanyakan reseptor. Secara faali dan menurut struktur tidak ada alasan untuk menerima bahwa jenis reseptor tertentu secara mutlak sama dalam seluruh organisme. Reseptor tertentu itu mungkin suatu struktur kompleks, terdiri atas banyak subunit yang merupakan bagian dari kerangka membran yang lebih rumit lagi. Mautner mengatakan dalam tahun 1967 (Mautner, 1980), jauh sebelum struktur reseptor obat diketahui secara rinci, bahwa ahli kimia medisinal akan berhadapan dengan konsep ‘isoreseptor’, seperti halnya ahli enzim menerima adanya isozim. Walaupun pengetahuan kita sekarang tentang struktur reseptor masih dangkal, rasanya ciri–ciri fungsi dan struktur reseptor yang tepat, pada misalnya opiat dalam sistem saraf dan dalam ileum, mungkin tidak sama. Tidak saja peranannya masing–masing berlainan (bab 5, pasal 3.4) sebagai unsur peserta dalam neuromodulasi dan pengaturan peristaltik, tapi juga kira-kira berbeda dalam arti morfologi reseptor neuromodulasi dianggap prasinaptik (lihat gambar 4.4 dan tinjauan Starke 1981), atau terletak dalam membran prasinaptik akhir, didepan lekukan sinaps, sedangkan reseptor yang lain adalah reseptor pascasinaptik klasik, yang terletak di dalam membran pascasinaptik sel efektor atau pada urat saraf berikutnya. Dalam hal pertama, reseptor memodulasi pelepasan neurotransmitter, dan dalam hal kedua, reseptor mungkin mengaktifkan enzim seperti adenilat siklase, atau memicu potensial kerja. Nanti akan kita lihat bahwa hampir semua neurotransmitter menunjukkan kemajemukan reseptor. Ahli kimia medisinal berhadapan dengan empat subjenis reseptor adrenergik dan tiga sampai empat reseptor opiat yang berlainan, sekadar menyebut dua contoh saja.
Kelentukan reseptor dapat melandasi ciri umum reseptor majemuk. Misalnya, walaupun keempat isoreseptor adrenergik tadi serupa, reaksinya terhadap neurotransmitter umum, yaitu norepinefrin, secara kuantitatif berlainan. Reaksinya terhadap suatu obat juga khas, dan beragam dalam berbagai organ serta berbeda dalam berbagai jenis hewan. Dalam bab–bab selanjutnya dalam buku ini, terbukti sekali bahwa kemajemukan reseptor lebih nyata sebagai keharusan daripada perkecualian. Kita harapkan bahwa pada saatnya nanti, dengan membandingkan berbagai struktur molekul isoreseptor, akan diperoleh kriteria yang tepat untuk membeda–bedakannya. Ariens dan kelompoknya (1979, h. 59–64) memperluas dan membahas secara rinci berbagai pemikiran yang dinyatakan di atas tadi.
Keserbaragaman reseptor atau sisi pengenalan untuk agonis dan antagonis sudah didokumentasikan dengan baik. Kita dapat membedakan (1) sisi ikatan agonis, (2) sisi ikatan antagonis pesaing (sisi pelengkap), dan (3) sisi ikatan antagonis bukan–pesaing atau teratur (sisi alosterik).
Sisi ikatan agonis merupakan pokok bahasan sinambung dalam buku ini, dan berkisar mulai dari pendekatan yang murni fisika sampai pembahasan sifat biokimia jika ini diketahui. Dalam pembahasan ini sudah termasuk pembicaraan tentang masing–masing tempat pada makromolekul reseptor: berbagai asam amino khusus, lipid, atau nukleotida yang dijaga dalam konfigurasi geometri yang tepat oleh kerangka sisa molekul, maupun oleh lingkungan supramolekul seperti membran. Pada hakikatnya, kebanyakan reseptor obat adalah bagian membran plasma yang lipoprotein, dan karena itu bersifat amfifil (bab 6, subbab 1). Tentu ada perkecualian, seperti reseptor hormon steroid, di sini steroid terikat pada reseptor bebas dalam sitosol dan kompleks itu kemudian diangkut.
Antagonis pesaing pada mulanya dianggap terikat pada sisi ikatan agonis dan dengan sesuatu cara menggantikan dan mengeluarkan agonis tadi karena afinitasnya sangat tinggi, tetapi tidak mempunyai aktivitas intrinsik. Ini mengakibatkan pergeseran dosis–respons secara sejajar, seperti terlihat pada gambar 2.4.



 






Gambar 2.4 Kurva dosis–respons untuk suatu agonis pada saat terdapat B, antagonis pesaing, dengan kadar menaik (berlipat dua) (Menurut Triggle,1978)

Pandangan kita sekarang, yang terutama dibentuk oleh Ariens, berbeda dari pemikiran sederhana yang dulu. Adanya kenyataan bahwa terdapat perbedaan besar kimiawi antara agonis dan antagonis pesaing dalam bidang neurotransmitter yang luas itu tidak memungkinkan kita mengidentifikasi kedua isi reseptor itu.
Gambar 2.5 membandingkan struktur beberapa pilihan contoh senyawa tersebut. Dengan sekilas dapat terlihat bahwa walaupun beberapa agonis mempunyai struktur serupa, diperlukan analisis yang hati-hati untuk membedakan hubungan pasangan agonis-antagonis atau bahkan antara antagonis segolongan. Seperti biasanya, terlihat perkecualiaan dalam hal ini. Umpamanyaanalgetika opiat dan antagonisnya sangat mirip strukturnya tetapi kita perhatikan hubungan antara peptida ‘opiat’ endogen yang dikenal sebagai enkefalin, dengan antagonis opiat, ketidak miripan mencolok antara kedua golongan tadi menjadi lebih nyata.





 







Sifat anatagonis yang sangat nyata adalah afinitasnya pada reseptor sangat besar, seringkali dua atau empat kali orde besaran lebih tinggi dibandingkan dengan agonis (tabel 2.2). pemeriksaan sekali lagi mengungkapkan bahwa semua agonis dalam tabel itu mempunyai gugus nonpolar besar, umumnya cincin aromatik. Karena itu sisi ikatan tambahan harus ada pada reseptor guna menampung gugus hidrofob yang besar itu. Sisi ini merupakan tambahan bagi sisi ikatan agonis, yang biasanya polar; keadaan asetokilin dan antagonisnya, propantelin, terlihat pada gambar 2.6. sisi tambahan itu mungkin sekali tergabung dengan celah hidrofob protein. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa terdapat beberapa senyawa yang bersifat antagonis dalam lebih dari satu sistem. Difenhidramin misalnya, bekerja sebagai antihistamin maupun sebagai antikolin.


 








Antagonis pesaing dapat ditinjau menurut dua cara. Menurut cara satu, sisi ikatan antagonis diangggap berdekatan letaknya dengan sisi agonis dan mungkin bertumpang tindih sebagian. Karena itu antagonis akan mengganggu agonis mencapai receptor, walaupun ia tidak perlu menduduki sisi agonis dan sisi tambahan seperti terlihat pada gambar 2.5. sebaliknya, antagonis dalam fungsinya dapat menghalangi pencapian oleh agonis dengan mengubah afinitas reseptor. Ini sangat sejalan dengan penghambatan alosterik, yang akan dibahas dibawah ini.
Dengan demikian sisi tambahan merupaka sisi yang penting bagi antagonis, dan sisi ikatan untuk agonis dan antagonis tidak sama, walaupun kedua-duanya terdapat pada reseptor lipoproten yang sama, dan walaupun dia menunjukan kecenderungan yang tinggi pada agonis maupun antagonis. Keadaan ini, digabung dengan berbagai afinitas dari bermacam-macam bentuk atau keadaan reseptor, menuju kepada pengembangan reseptor dengan model dua-muka yang akan dibahas dalam oasal berikut.


C.            Konsep molekul tentang fungsi reseptor
Kerumitan yang besar pada system hidup dan sangat jauh jarak antara penyebab dengan efek sehingga menimbulkan banyak hal yang ruwet dalam pengkajian hubungan tersebut. Karena itu para ahlu farmakologi molekul dan fisikawan mencari jalan untuk menyederhanakan system percobaan itu sedapat mungkin. Mereka menghilangkan beberapa factor yang tidak perlu dan tidak ada hubungannya seperti pengangkutan obat dan metabolisme, serta melaksanakannya pada tingkat yang dapat dijangkau dengan percobaan molekul dan metode fisikokimia yang saksama. Sasaran ini makin disadari sebagai metodologi percobaan ikatan kuantitatif pada sediaan membrane dan kemudian menjadi lebih canggih, saksama, dan sederhana pada reseptor terisolasi. Senyawa bertanda isotop dengan aktivitas sangat tinggi memungkinkan kita bekerja dengan kadar liganda faali serendah tingkat pikomol (10-12). Hal ini membuka jalan untuk melakukan percobaan langsung pada sisi reseptor dan mengmbangkan beberapa model reseptor komplementer. Banyak para ahli seperti Ariens, Burgen, Changeux, Colquhoun, Cuatrecasas, Hollenberg, Karlin, Seeman, Snyder, Yamamura, termasuk ahli farmakologi yang befikir hebat tentang rseptor obat masih belum ada tanda-tanda akan berkurang.


b)        Model Molekul Reseptor
Rodbard dan rekan-rekannya ( De Lean dkk, 1979) mengusulkan model reseptor ‘subsisi ganda’ yang menarik dan dapat menjelaskan kerjasama reseptor, kurva dosis, respon dwifase, antagonisme pesaing dan bukan pesaing, dan adanya agonis parsial. Model ini mengemukankan bahwa agonis terikat pada dua subsisi dan dengan demikian memicu respon reseptor-efektor, sedangkan antagonis hanya terikat pada salah satu subsisi, termasuk sisi alosterik atau tambahan, dan dengan demikian tidak menyebabkan terjadinya bentuk R reseptor.
Sisi alosterik agak jauh dari sisi agonis dan bahkan mungkin terletak pada protomer reseptor yang laindalam kompleks reseptor-efektor itu. Pendudukannya oleh penghambat alosterik menghasilkan perubahan konfirmasi yang merambat sampai kesisi agonis dan mengubah afinitasnya. Maka terjadilah pendesakan timbal balik antara agonis dan antagonis alosterik. Lagi pula, model farmakologi klasik tidak dapat membedakan penghambat bersaing dan penghambat alosterik. Efektor alosterikbelum tentu merupakan penghambat. Sama seperti dalam enzimologi, ada yang mengaktifkan dan ada pula yang mentakaktifkan keadaan reseptor.
1)    Model Reseptor dua-muka
Model reseptor dua-muka juga dikenal sebagai model Monod-Wyman-Changeux dikembangkan menurut dasar kinetika penghambatan bersaing dan alosterik maupun melalui penafsiran hasil percobaan ikatan langsung. Model ini mempostulatkan bahwa lepas dari ada atau tidak adanya liganda, reseptor berada dalam dua keadaan tersendiri: keadaan R (rileks, aktif, atau hidup) dan T (tegang, takaktif atau mati) yang berada dalam keadaan kesetimbanagan. Agonis (obat, D) mempunyai afinitas tinggi terhadap keadaan R dan akan menggeser kesetimbangan kekanan; antagonis (penghambat I)  lebih menyukai keadaan T dan akan memantapkan kompleks TI.
Agonis parsial mempunyai afinitas kira-kira sama untuk kedua bentuk reseptor itu.
Sebagaian anggota populasi reseptor berada dalam keadaan R, bahkan tanpa adanya satu agonis pun.jadi, reseptor dapat diumpamakan mempunyai tegangan seperti otot yang sedang beristirahat. Nisbah keadaan ditentukan oleh tetapan kesetimbangan KL,KT, dan KR (untuk obat D dan penghambat I), dan memberikan makna fisikokimia sebenarnya pada konsep instrinsik.

Gambar diatas menunjukkan model dua-muka suatu reseptor yang bergabung dengan saluran ion, yang mengatur daya hantar membran. Di samping keadaan R dan T, diperlohatkan juga keadaan takpeka. Dalam keadaan terakhir ini, sisi pengenal dilepaskan dari sisi efektor (ionofor), seperti terlihat pada kadar obat yang sangat tinggi atau setelah perangsangan berulang-ulang. Penglepasan (juga disebut desentisiasi atau pengawapekaan, pemudaran, atau jika khas-reseptor, takhifilaksis), dapat juga ditafsirkan dalam hubungannya dengan daur ulang reseptor.
Berbeda dengan anggapan yang dipakai dalam tori kedudukan klasik, agonis dalam model dua-muka tidak mengaktifkan reseptor, akan tetapi menggeserkan kesetimbangan kerah bentuk R. Hal ini menerangkan mengapa jumlah reseptor yang diduduki tidak sama dengan jumlah reseptor yang diaktifkan.
Pergeseran dari bentuk R kebentuk T (dari ikatan agonis keikatan antagonis) suatu reseptor juga dapat diimbas oleh pengatur alosterik. Untuk ini contoh yang paling nyata adalah pada reseptor opiat. Disini Na+ atau Li+ (tapi bukan K+), yang bekerja sebagai pengatur, menggeser protein reseptor ke bentuk T (antagonis) sedangkan dalam dapar yang bebas Na+ reseptor lebih suka mengikat agonis. Karena efek itu dapat diukur pada kadar Na+ sekecil 5Mm, yang jauh dibawah kadar natrium faali yang 150Mm, reseptor mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap antagonis in vivo daripada in vitro. Juga akan diperluas lima sampai sepuluh kali lebih banyak agonis dibandingkan dengan antagonis untuk ED50 karena reseptor berada dalam konfirmasi antagonis.
Sifat kerja reseptor, yang paling banyak ditelaah pada reseptor hormon dan ionofor, dapat diterangkan dengan perluasan lebih jauh model dua-muka tadi. Dianggap bahwa kerjasama beberapa protomer reseptor diperlukan untuk sesuatu efek seperti pembukaan saluran ion,dan semua protomer ini harus mencapai keadaan R atau T agar dapat membuka atau menutup pori. Ini berarti sisi ikatan atau protomer reseptor tempat sisi itu berada, harus berantaraksi, dan dengan melakukan itu afinitasnya berubah sebagai fungsi bagian reseptor keadaan R dalam kumpulan itu. Ini juga berarti bahwa kompleks obat-reseptor dapat memicu peralihan reseptor tetangga yang tidak diduduki dari keadaan T kekeadaan R. Bila suatu liganda memperlancar pengikatan atau efek reseptor, sifat kerjasama itu positif, jika ia menghalanginya sifat kerjasamanaya negatif (misalnya dalam reseptor insulin). Sifat kerjasama negatif dapat juga menyebabkan reseptor cadangan yang banyak terlihat pada beberapa sistem. Karena reseptor menggerundul selama masa daur metabolismenya sendiri, maka pendudukan liganda yang rendah dalam gerundul itu masih dapat menyebabkan perubahan besar dalam konfirmasi gerundul, yang menghasilkan sempurna tanpa nisbah 1:1 untuk ikatan liganda-reseptor.
Petunjuk pertama akan adanya kerjasama pada reseptor oligo primer adalah kurva dosis respon yang berbentuk sigmoid. Rajah Scatchard tentang ikatan liganda berbentuk cekung  untuk kerjasama positif dan cembung untuk kerjasama negatif. Rajah Hill dapat pula menunjukan jenis kekerjasamaan yang bersangkutan.
Monod-Wyman-changeux dalam hipotesisnya tentang perilaku kerjasama hemoglobin dan berbagai enzim yaitu bahwa peralihan bersama terjadi serentak dalam semua subunit kumpulan reseptor. Dalam model koshland-Nemethy-Filmer, hanya subunit pengikat yang mengalami perubahan konformasi, dengan mengubah antraksinya dengan tetangganya dan menghasilkan perubahan berantai.
Seperti yang telah dibahas bahwa efektor atau sistem penguat adalah bagian reseptor oligoprimer yang menunjukan bahwa suatu obat telah terikat pada reseptor (atau,lebih tepatnya lagi bahwa telah terjadi perubahan konformasi kekeadaan R atau T), dengan memberi isyarat kepada mata rantai berikutnya dalam rantai reseptor efektor yang akhirnya memicu efek hayati. Disamping untuk memulai thap kerja obat, efektor biasanya juga penguat, dengan ,memperbesar peristiwa awal yang tidak menonjol seperti pengikatan beberapa ribu molekul liganda pada kadar 10-19­­­-10-10 M.
Penguatan ini dapat berbentuk riam, seperti dalam haql epinefrin atau glukagon yang terkenal hormon ini memulai glikogenolisis melalui serentetan langkah pengaktifan enzim, seperti gambar dibawah ini, yang menyababkan efek awal itu diperbesar kira-kira 100 juta kali.


























Rounded Rectangle: Epinefrin glukagon (dll)


























Rounded Rectangle: Proses sel pasokan energi



Rounded Rectangle: Glikolisis dan daur krep
Rounded Rectangle: plasma





 





























Keberadaan enzim adenilat siklase (AS) dimana-mana yang bekerja sebagai penguat pertama atau efektor dalam sejumlah besar riam yang diawali oleh obat maupun  dalam sejumlah peristiwa  rantai biokimia dalam enzimologi. AMPs yang dihasilkan selanjutnya mengaktifkan beberapa kinase yang memfosforilasi berbagai protein protein dan bekerja sebagai efektor terakhir.
Jenis efektor lain adalah ionofor membran yang dapat terangsang, yang dalam konformasi R-nya (terbuka) dapat melakukan kira-kira 10000-20000 ion dalam satu impuls dan menghasilkan depolarisasi atau polarisasi membran serta beberapa kemungkinan gejala faal
2)      Model Reseptor bergerak
Model ini diusulkan oleh  Cuatrecasas dan De Haen (Hollenberg,1985) untuk menjelaskan begitu banyak macam obat, hormon, dan neurotransmiter dapat mengaktifkan adenilat siklase. Menurut konsep klasik  sisi pengenalan tetap selalu dikaitkan dengan sisi efektor dan akan mengatur kerjanya atas dasar satu lawan satu dan stoikiometri lain.
Jika hipotesis ini diterapkan pada masalah adenilat siklase, harus diterima salah satu dari dua keadaan berikut, yaitu bahwa jumlah isoenzim adenilat siklase sama banyak dengan reseptor  yang bekerja dengan perantaranya atau adenilat siklase memerlukan begitu banyak macam sisi pengenalan yang dapat melayani liganda yang banyak. Kemungkinan kedua ini menyatakan tidak adanya keselektifan. Meskipun demikian tidak ada bukti untuk masing-masing pengandaian itu.
Dari masalah ini timbulan konsep model reseptor bergerak dengan mengigat bahwa membran lipid adalah cairan dwimatra dan protein yang tertanam didalamnya dapat mengalami gerakan lateral cepat atau translasi           dengan laju 5-10 um/menit, suatu jarak yang besar sekali untuk diukur dengan skala molekul(Poo,1985). Karena itu protomer pengenalan pengenalan senyawa kompleks reseptor tidak perlu selalu dihubungkan dengan molekul efektor. Protomer pengenalan dapat mengalami gerakan lateral cepat dan bila diaktifkan ke keadaan R, dapat dipakai untuk hal yang dijuluki pasangan benturan.
Reseptor dalam keadaan R mempunyai konformasi yang tepat untuk memicu aktifitas efektor  yang dapat merupakan pembukaan ionofor atau pengaktifan adenilat siklase. Karena itu berbagai sisi pengenalan dapat mengaktifkan beberapa molekul adenilat siklase yang sama pada berbagai waktu melalui mekanisme yang sama. Satu sisi pengenalan dapat mengaktifkan beberapa molekul adenilat siklase atau sistem efektor lain selama masa aktifnya.



Read Full