Share

Get This


Get this widget!

Selamat datang para kawan semua, Mudah-mudahan dengan adanya web ini dapat bermanfaat

Pages

Jumat, 17 April 2015

Penyebaran Obat dalam Tubuh






BAB I
PENDAHULUAN


1.        Latar Belakang

Penyebaran obat merupakan proses yang dialami obat, mulai dari penyerapan sampai ia mencapai jaringan yang terletak jauh dari tempat penyerapan itu. Dalam penyebaran obat ini dimulai dari penyerapan obat atau absorbsi, kemudian distribusi obat dalam tubuh. Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses menuju sirkulasi sistemik. Penyebaran obat adalah peristiwa pertama yang mempengaruhi aktivitas obat in vivo. Obat parental biasanya berupa larutan dan dapat diserap dengan cepat tetapi sebaliknya obat oral biasanya dalam bentuk padat, membawa sejumlah peubah yang menentukan pelarutan, penyerapan, ketersediaan hayati, dan kecepatan obat mencapai sasarannya.

Dalam penyebaran obat terdapat parameter yang menentukan hasil akhir pemakaian obat meliputi pelarutan obat, pemberian obat melalui saluran cerna, pemberian obat secara parenteral, ketersediaaan hayati obat, penyebaran obat, keragaman fermakokenik, serta eliminasi obat. Oleh karena itu, makalah ini kami buat dengan harapan pembaca dapat memahami dan mengetahui penyebaran obat yang lebih spesifik lagi.



2.        Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana proses pelarutan obat?
2.      Bagaimana pemberian obat melalui saluran cerna?
3.      Bagaimana pemberian obat secara parenteral?
4.      Bagaimana ketersediaaan hayati obat?
5.      Bagaimana penyebaran obat dalam tubuh?
6.      Bagaimana keragaman fermakokenik?
7.      Bagaimana proses eliminasi obat?

3.        Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah agar mahasiswa lebih mengetahui dan memahami bagaimana cara penyebaran obat dalam tubuh juga parameter yang menentukan hasil akhir pemakaian obat meliputi pelarutan obat, pemberian obat melalui saluran cerna, pemberian obat secara parenteral, ketersediaaan hayati obat, keragaman fermakokenik, serta eliminasi obat.
















BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Penyebaran Obat Dalam Tubuh

Obat diberika secara oral (obat dalam) melalui rute bukan oral (parenteral). Penyebaran obat adalah peristiwa pertama yang mempengaruhi aktivitas obat in vivo. Obat parental biasanya berupa larutan dan dapat diserap dengan cepat. Sebaliknya obat oral biasanya dlam bentuk padat, membawa sejumlah peubah yang menentukan pelarutan, penyerapan, ketersediaan hayati, dan kecepatan obat mencapai sasarannya. Pelarutan dan pembagian dalam biofase merupakan fenomena fisika, jadi parameter yang dibahas di bab 1 juga menyangkut bidang ini.

Karena semua faktor tersangkut dalam aktivitas farmakologi akhir suatu obat, maka obat yang struktur kimianya serupa, ketersediaan hayati serta laju kerjanya tidak selalu sepadan. Parameter yang menentukan hasil akhir pemakaian obat dibicarakan di sejumlah pasal berikut.

2.1.1        Pelarutan Obat

Laju pelarutan obat merupakan langkah penentu laju pada kerja obat bila obat ditelan dalam bentuk padat atau bentuk suspensi. Laju pelarutan ditentukan oleh:
1.    kelarutan obat dalam air;
2.    pH medium;
3.    pKa obat;
4.    bentuk, luas spesifik, dan kepadatan kristal atau butiran obat;
5.    formulasi obat (jenis pengikat, penambah, serta penyalut tablet atau kapsul)

Laju pelarutan dapat digambarkan dengan persamaan Noyes-Whitney:
dC/dt = kS (Cs - C) dengan dC/dt adalah laju pelarutan, S luas permukaan zat padat, Cs kelarutan obat, dan C konsentrasi pada saat t. Tetapan k sebanding dengan kekentalan medium, karena pelarutan dibatasi oleh difusi dan tergantung pada ketebalan lapisan difusi, yaitu lapis tipis larutan jenuh yang tidak teraduk pada permukaan kristal.

Luas permukaan obat dapat ditingkatkan dengan ’pemikronan’ yaitu pengecilan ukuran butiran dengan menggilingnya sampai berukuran kurang dari 10 µm. Dengan cara ini laju pelarutan dapat ditingkatkan beberapa kali lipat, tetapi kadang-kadang diperoleh hahsil yang kebalikan dari efek yang dikehendaki: pemikronan dapat meningkatkan penggerundulan serbuk, atau butiran dapat memadat sewaktu pembuatan tablet. Kadang-kadang pemikronan lebih memudahkan penguraian obat dalam lambung, seperti halnya sediaan penisilin oral. Pemakaian bentuk amorf, alih-alih bentuk kristal, dapat sangat meningkatkan kelarutan secara menolok karena untuk terjadinnya pelarutan tidak ada kisis kristal yang memerlukan masukan energi. Senyawa hidrofob dapat ditangani dengan zat pembasah untuk mempermudah masuknya fase air ke permukaan kristal.

Pada pelarutan obat, pH pelarut sangat penting. Asam lemah seperti aspirin (pKa = 3,5) hanya sedikit larut dalam cairan asam lambung, tetapi larut dengan cepat dalam usus yang basa. Jadi, obat yang meningkatkan pH lambung (anatasida, antihistamina H2) akan meningkatkan pelarutan aspirin dalam lambung. Namun, pH lapisan difusi yang tidak teraduk tidak selalu sama dengan pH pelarut; jadi peramalan demikian tidak selalu teliti.

Garam yang dapat larut akan melarut lebih cepat daripada asam atau basa bebasnya dan biasanya saat awal kerjanya lebih cepat. Kadang-kadang garam yang tidak dapt larut dipisahkan dengan cara yang sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk mengurangi kelarutan dan memperoleh efek depot atau untuk menutupi rasa pahit pada setiap obat untuk anak-anak; contohnya obat kunyah Al-aspirin dan antimalaria sikloguanil pamoat (8-41).


2.1.2        Pemberian Obat Melalui Saluran Cerna

Cara pemakaian obat yang paling umum dan nyaman adalah rute oral. Setelah pelarutan, obat harus mengatasi rintangan membran semipermeabel antara lubang saluran cerna dan peredaran sistemik. Poro berair memungkinkan perjalanan yang bebas untuk air, ion monovalen dan molekul kecil hidrofil; senyawa hidrofob dapat melintasi fase lipid pada membran. Banyak molekul penting berupa bahan gizi dan obat melintasi membran dengan cara difusi pasif – zat tersebut bergerak mengikuti perbedaab konsentrasi (dari konsentrasi yang lebih tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah). Laju difusinya sebanding dengan perbedaan konsentrasi, seperti dijelaskan oleh hukum Fick. Karena zat linarut terhanyut oleh aliran darah, konsentrasi di sini selalu lebih rendah. Banyak senyawa lain, baik bahan makanan maupun obat, tidak dapat berdifusi secara bebas. Zat tersebut harus dibawa oleh pengangkut yang bekerja berdasarkan sistem port-antiport, jadi, kesetimbangan ‘impor-ekspor’ harus dipertahankan. Na+ -K-ATPase (bab 6, pasal 3.3) merupakan sistem demikian, tetapi masih banyak sistem yang lain juga demikian. Pada transpor aktif, molekul diangkut ke arah yang konsentrasinya lebih pekat, untuk ini diperlukan masukan energi. Pada transpor-yang-dipermudah, suatu zat diangkut sesuai dengan perbedaan konsentrasi, tetapi dengan laju yang lebih cepat daripada yang dimungkinkan kalau melalui difusi pasif. Karena jumlah pengangkut tersebut terbatas, sistem pengangkutan ini dapat jenuh dan bersifat khas struktur serta stereospesifik. Karena kemampuan pengangkut terbatas, ketersediaan hayati obat menurun bila dosis meningkat. Karbohidrat, banyak asam amino, berbagai ion, vitamin, turunan pirimidina, dan obat, diangkut melalui sistem aktif atau sistem-yang dipermudah.

Sistem cerna terdiri dari lambung, duodenum, jejunum, ileum, kolon, dan rektum. Setiap  bagian komponen ini berbeda anatomi, histologi, dan faalnya. Lambung berdinding epitel lunak dan mempunyai pH 1-2,5 akibat sekret lambung yang ber-pH 1 terencerkan dan ternetralkan. Senyawa tak terion dan bersifat lipofil mudah diserap dari lambung, tetapi asam lemah terserap lambat dan tidak sempurna. Karena pengosongan lambung merupakan proses yang nisbi cepat (t1/2 = 20-60 menit), peran lambung dalam penyerapan obat menjadi terbatas. Banyak obat (zat muskarinik, antihistamina H2, dan opiat) mengurangi daya gerak dan pengosongan lambung.

Usus halus merupakan tempat penyerapan obat yang terpenting karena panjang dan mempunyai permukaan yang sangat luas akibat pelipatan mukosa yang mempunyai vili dan mikrovili, yaitu tonjolan mirip jari yang banyak mengandung pembuluh darah. Di antara duodenum dan ujung ileum, pH naik dari 5 menjadi 7 sehingga asam dan basa lemah cepat terserap. Jumlah tempat transpor aktif juga sangat banyak di usus halus. Waktu tinggal nisbi lama, kira-kira 4-6 jam.

Usus besar (kolon) mempunyai permukaan yang jauh lebih kecil dan bukan merupakan tempat penyerapan yang efisien. Usus besar ini merupakan saluran cerna yang paling basa (pH=8-8,5), dan dimanfaatkan pada pemberian tablet salut enterik. Pada formula ini, tablet disalut dengan suatu polimer tahan asam yang dapat melintasi lambung dalam keadaan tetap utuh dan melindungi oabat yang peka asam dari penguraian. Penyalutnya melarut di usus besar yang basa, jadi obat pasti diserapdari tempat ini. Praobat yang diaktifkan melalui reduksi oleh bakteri di dalam usus halus juga diserap di sini. Ujung usus besar, yaitu rektum, tidak banyak berperan dalam penyerapan obat oral, tetapi dimanfaatkan pada pemakaian obat nonoral (parenteral).


2.1.3        Pemberian obat secara parenteral

Pemberian obat secara parenteral (bukan oral) sering lebih efisien dan lebih cepat dibandingkan dengan pemberian secara oral, tetapi mungkin saja kurang nyaman. Masalah dalam penyerapan obatnya lebih sedikit dibandingkan dengan masalah pada obat oral, dan pemakaian secara topical dapat dilakukan.
Metode yang paling umum dan cepat adalah suntikan intravena ke dalam vena perifer. Cara ini menghasilkan respons yang hampir segera, dan kadar obat dalam serum dapat diramalkan dan diandalkan. Penyuntikan tidak boleh terlalu cepat, untuk mencegah kadar obat yang tinggi di temapt penyuntikan (‘bolus’) atau terjadi pengendapan bahan yang tidak larut yang menyebabkan embolisme.
Pemberian antibiotika dan antineoplastika secara intratekal dan epidural ini kadang-kadang perlu. Zat opiate dalam dosis sangat rendah secara epidural dapat secara terus-menerus meredakan rasa nyeri (36-48 jam) pada pascabedah dan kanker metastatic dengan bahaya ketagihan yang sekecil-kecilnya.
Suntikan intramuscular kurang dapat diandalkan dibandingkan dengan cara intravena dalam hal ketersediaan hayati, layu penyerapan, dan efek lokalnya. Pengendapan obat di tempat penyuntikan, rasa nyeri, dan penyerapan yang tertunda sering terjadi. Tempat penyuntikan itu sendiri dapat menimbulkan perbedaan laju penyerapan, karena misalnya, pembuluh darah di otot deltoid jauh lebih banyak daripada di gluteus maksimus yang terletak di bawah lapisan lemak yang tebal.
Suntikan subkutan mempunyai kekurangan seperti suntikan intramuscular, tetapi laju penyerapannya dapat lebih mudah diatur, misalnya efek anestetika local dapat diperlama dengan penambahan vasokonstriktor (misalnya epinefrin) ke dalam larutannya. Insulin biasanya disuntikkan secara subkutan, dan laju penyerapannya dapat diatur dengan menggunakan berbagai sediaan yang kelarutannya berbeda. Yang jauh lebih efektif adalah pemakaian mikropompa sinambung yang memompakan insulin dengan berbagai kecepatan sesuai dengan kebutuhan.
Pemberian melalui mukosa dapat berguna pada berbagai hal. Tablet sublingual diberikan untuk mendapatkan penyerapan nitrogliserin yang cepat pada serangan angina pectoris, dan untuk beberapa zat androgen. Meskipun rongga mulut dipakai, bukan merupakan rute saluran cerna, karena obat diserap langsung melalui membrane mukosa mulut ynag banyak mempunyai pembuluh darah. Pemberian lewat vagina dipakai untuk obat kontrasepsi, zat penggugur janin, prostaglandin E2, estrogen, dan obat antibakteri atau antifungi untuk mengobati infeksi setempat. Pemberian intranasal banyak dilakukan untuk zat pelega hidung agonis adrenergic-α dan untuk beberapa neurohormon yang mudah terhidolisis.
Penyakit kulit dapat diobati dengan pemakaian obat secara topical ke kulit, karena dengan cara ini efek sistemik dapat dikurangi sampai sesedikit mungkin. Glukokortikoida, antineoplastika untuk kanker kulit, dan zat anti fungi sering diberikan dengan cara ini. Mata juga dapat menyerap obat secara langsung, jadi obat yang menurunkan tekanan dalam mata pada glaucoma, dan obat yang mengendalikan ukuran pupil, diberikan dalam bentuk tetes mata. Akan tetapi, ketersediaan hayati serta jumlah obat yang tertahan masih tetap menjarapi di masalah.
Pemakain obat secara rektal dilakukan bila pemberian secara oral sulit dilakukan pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak sadar atau orang yang sering muntah akibat efek samping kemoterapi kanker atau kerusakan ginjal.


2.1.4        Ketersediaan Hayati Obat

Banyak faktor yang memepengaruhi penyerapan obat, yaitu : kepermeabelan, kelarutan, pKa, cara pemberian obat, formulasi sediaan, metabolisme obat sebelum dan sesudah mencapai sisi kerja, dan bahkan posisi tubuh penderita (pengosongan lambung akan berlangsung lebih cepat bila penderita berbaring ke sisi kanan). Akibatnya obat yang struktur kimianya mirip tidak selalu setara secara hayati. Penentuan ketersediaan hayati merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin membuat obat, tetapi pabrik sekunder tidak diwajibkan menunjukkan kesetaraan-terapi pada sediaan asli. Jadi, ketersediaan hayati masih tetap merupakan masalah yang sangat perlu diperhatikan, dan sungguh mengehrankan bahwa sejumlah besar obat dengan berbagai merk ternyata menunjukkan perbedaan besar.
Segi yang menarik pada kesetaraan hayati adalah pemilihan waktu pemberian obat yang dihubungkan dengan irama piantan-tubuh manusia (jadwal atau keberkalaan peubah faali yang berlangsung dalam waktu 24 jam), bidang ini disebut kronofarmakologi atau kronoterapi. Telah diketahui bahwa kebanyakan fenomena faali bergantung pada waktu dan berirama selama selang waktu (tetapi tidak tepat) 24 jam – daur piantan tubuh. Misalnya, akrofase (titik tertinggi) suhu tubuh adalah pada pukul 4 sore; tekanan darah pada pukul 5-6 sore; pembentukan HAKT pada pukul 4 pagi; kadar testosteron pada pukul 1 pagi; dan hormon pertumbuhan pada pukul 11 malam. Pembelahan sel juga menunjukkan irama piantan-tubuh, dengan akrofase untuk sum-sum tulang pada pukul 10 malam, tetapi sel kulit pada pukul 1 pagi. Dengan demikian tidak mengherankan bila toksisitas obat obat juga sangat beragam menurut perputaran waktu. Jadi, toleransi obat dan efek terapi mencapai tingkat optimum bila pemberian obat antileukimia disesuaikan dengan akrofase, yaitu pada saat toksisitas terendah tetapi laju mitosis tertinggi. Untuk itu perlu ditentukan terlebih dahulu irama piantan-tubuh penderita untuk semua parameter tersebut mengingat perbedaan orang per orang yang sangat besar.

2.1.5        Penyebaran Obat
Penyebaran obat merupakan proses yang dialami obat, mulai dari penyerapan sampai ia mencapai jaringan yang terletak jauh dari tempat penyerapan itu. Dalam penyebaran obat ini dimulai dari penyerapan obat atau absorbsi, kemudian distribusi obat dalam tubuh. Absorpsi merupakan proses penyerapa nobat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses menuju sirkulasi sistemik. Adapun yang mempengaruhi kelengkapan dan kecepan proses penyerapan obat yaitu :
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi suatu zat atau obat antara lain :
1.    Cara pemberian obat
2.    Sirkulasi darah ke tempat pemberian (semakin cepat alirandarah maka semakin cepat obat tersebut dibawa untuk diabsorbsi)
3.    Ukuran partikel molekul obat dan daya larut obat (Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan obat, semakin mudah larut. Sehingga semakin mudah diserap)
4.    Formulasi obat (apabila obat tersebut berikatan dengan zat-za kimia lain di dalam tubuh maka semakin sulit obat tersebut untuk diabsorbsi) (Anonim,1995).
Setelah diabsorpsi, obat akan disebarkan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah dan cairan jaringan dalam tubuh.

Kebanyakan obat masuk aliran darah di tingkat kapiler, melewati celah antara sel yang membentuk dinding kapiler. Distribusi bergantung besarnya kecukupan sirkulasi darah. Distribusi obat dapat dibedakan menjadi 2 fase berdasarkan penyebaran didalamtubuh, yaitu :
·         Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu di distribusikan cepat kepada organ yang menerima suplai darah dalam jumlah banyak atau ke organ yang perfusinyasangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan otak.
·         Distribusi fase kedua jauh lebih luas lagi, yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ pada fase pertama, misalnya pada otot, kulit dan jaringan lemak dan biasanya lebih lambat.
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Konsentrasi obat pada cairan tubuh yang berprotein rendah sama seperti konsentrasi obat bebas dalam plasma. Penyeimbangan antara obat bebas dan yang terikat terjadi pada saat obat bebas memasuki sel di kompartemen perifer. Beberapa obat seperti fenobarbital, asetazolamida, senyawa silisilat terikat pada eritrosit. Sedangkan obat lain seperti antileukemia hidroksiurea terikat pada leukosit.

Obat yang terikat pada protein dapat tergantikan oleh obat lain. Aspirin misalnya dapat meningkatkan kadar zat antidiabetes oral yang bebas, dan hal ini berbahaya karena dapat memicu syok hipoglisemik. Pada beberapa penyakit seperti artri tis rematoid, jumlah protein plasma keseluruhan menurun sehingga sebaran obat berubah.
Lemak merupakan gudang penyimpanan obat yang penting untuk molekul lipofil. Seperti anestetika umum, senyawa barbiturat, dan neuroleptika turunan fenotiazina dapat membentuk gudang dijaringan berlemakdan dapat mudah masuk dalam neuron dan SSP.Pertukaran antara depot berupa lemak dan serum berlangsung lambat dan ditentukan oleh koefisien partisi. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel.
Kapiler di SSP berbeda dengan yang diperifer karena yang di SSP tidak mempunyai fenestrae, tidak berpori serta mempunyai selubung sel. Karena itu kapiler tersebut tidak tertembusi zat larut air, jadi membentuk sawar-darah obat. Ha ini dapat menghambat pengobatan infeksi dan neoplasma di SSP. Distribusi obat ke dalam Sistem Saraf Pusat ( central nervous system) dibatasi karena terdapat sawar darah otak (blood–brain barrier), yang terdiri dari pembuluh darah kapiler dengan dinding tebal, membatasi pergerakan molekul obat masuk ke dalam jaringan otak. Sawar(penghalang) ini juga bertindak sebagai membran selektif permeabel yang menjaga Sistem Saraf Pusat (SSP). Namun hal ini juga menyebabkan terapi obat  untuk gangguan sisitem saraf sangat sulit diberikan karena harus melewati sel dari dinding kapiler dan lebih jarang antara sel. Sebagai hasilnya, hanya obat yang larut dalam lemak atau memiliki sistem transportasi yang dapat melewati sawar-darah otak dan mencapai kosentrasi terapeutik di dalam jaringan otak. Sawardarah-otak dapat dihindari dengan pemberian obat intratekal atau oleh syok hiperosmotik atau oleh pemakaian zat pengangkut obat yang bersifat lipofil.
Distribusi obat selama kehamilan dan menyususi joga unik. Selama kehamilan, sebagian besar obat melewati plasenta dan dapat mempengaruhi bayi. Sehigga perlu pertimbangan khusus karena ada penyeimbangan ibu-janin akibat adanya membran biasa pada kedua belah dindingnya. Jadi obat lipofil dapat ditemukan dengan mudah dalam peredaran darah janin satu jam setelah ibu memakan obat. Lagipula penyetimbangan ibu janin menjadi sulit akibat tidak berkembangannya enzim metabolisis dan dalam janin serta bayi yang baru lahir waktu paro obat dapat 20-40 kali lebih lama dibandingkan dengan dalam tubuh ibu. Jadi pemakaian obat selama kehamilan harus betul-betul dibatasi nmengingat banyaknya efek yang tidak diketahui dan kemungkinan terjadinya kerusakan teratogenik (bentuk janin tidak sempurna).

2.1.6        Keragaman Fermakokinetik
Pada dosis per kilogram bobot badan yang sama, keragaman respons tubuh terhadap obat pada orang yang berbeda dapat sampai 10x lipat. Banyak penyebab terjadinya hal ini, tetapi beberapa obat menunjukkan keragaman efek yang lebih besar dibandingkan dengan obat lain. Obat yang menunjukkan pengosongan hati yang tinggi serta metabolisme prasistemik juga menunjukkan keragaman perorangan yang besar. Keragaman ini dapat diperkecil dengan pemberian parenteral.

Pada anak-anak penyesuaian dengan bobot tubuh harus dilakukan. Penyesuaian ini dilakukan juga pada orang dewasa bila puncak kadar dalam serum pentinguntuk diperhatikan. Penderi yang gemuk mempunyai masalah karena nisbah massa tubuh langsing dengan berat keseluruhan sulit ditentukan. Kompartemen pusat dan perifer sebnading dengan masa langsing, tetapi jaringan lemak (pada orang gemuk) dapat bertindak sebagai tempat penimbunan obat untuk obat apolar.

Bayi baru lahir dan anak-anak bukanlah orang dewasa yang tubuhnya kecil, mereka sering tahan terhadap dosis mg/kg yang lebih besar dibandingkan dengan orang deawasa. Alasannya jumlah cairan luar sel bayi baru lahir hampir dua kali cairan orang dewasa. Namun metabolisme obat yang berbeda dan kurang berkembang pada bayi baru lahir menambah permasalahan klinik, waktu paro obat biasanya jauh lebih tinggi. Sebaliknya anak yang lebih tua menunjukkan tingkat metabolisme obat yang lebih tinggi, jadi menumbuhkan dosis yang lebih besar.

Pada penderita lanjut usia, keadaannya terbalik karena baik fungsi organ maupun metabolisme obat menurun, jadi waktu paro obat meningkat. Dengan demikian kepada penerita lanjut usia harus diberikan obat dengan dosis yang lebih rendah.

Farmakogenetika adalah telaah pengaruh genetik pada penyebaran dan metabilisme obat. Waktu paro pada anak kembar adalah sama, tetapi pada saudara sekandung tidak sama. Pengaruh perbedaan ras dan geografi sering terjadi dan telah ditelaah secara luas.kekurangan enzim metabolisis obat, yang ditentukan secara genetik, dapat menempatkan mereka dalam bahaya kemungkinan lewat dosis.

2.1.7        Eliminasi Obat
Penyerapan dan difusi di dalam tubuh memungkinkan zat aktif mencapai titik ikatan, secara simultan hal ini berperan dalam proses eliminasi yang merupakan proses akhir nasib obat dalam tubuh. Seperti apa fase penyerapan dan penyebaran, fase eliminasi berperan pada aktivitas toksitifitas obat.
Aturan umum perlintasan membran juga berlaku pada eliminasi, namun perlintasan eliminasi terjadi dengan arah berbeda dengan arah penyerapan dan penyebaran, yaitu dari jaringan menuju darah, kemudian dari darah menuju ke luar tubuh. Molekul-molekul obat dikeluarkan dari tubuh tanpa atau setelah mengalami perubahan hayati. Pada umumnya molekul-molekul yang lebih larut air lebih mudah di eliminasi, sebaliknya senyawa larut lemak diubah menjadi bentuk yang kurang larut lemak. Metabolit yang larut lemak ini lebih mudah dikeluarkan melalui ginjal yang merupakan jalur eliminasi obat-obat yang terpenting. Fenomena pasif dari difusi transmembran merupakan proses penting dalam eliminasi obat, tergantung jalur pengeluaran dan gradien konsentrasi. Proses eliminasi tergantung pada penyebaran senyawa, yang dipengaruhi oleh cara pemberian dan fenomena penyerapan. Misalnya bentuk bebas yang berdifusi, peran gradien konsentrasi serta ikatan pada protein plasma. adanya fiksasi pada tempat penimbunan (jaringan lemak) akan memperlambat eliminasi total.

Ø Eliminasi Lewat Urin
Mekanisme yang menjamin eliminasi obat sama dengan mekanisme yang menjamin pembentukan urin. Peran yang diawali pada nefron yang merupakan kesatuan anatomi-fisiologi dari ginjal.Setiap nefron (1 juta tiap ginjal) merupakan tubulus yang panjang dengan epitel monoseluler, dan terdiri dari dua bagian dengan fungsi yang berbeda yaitu bagian glomerulus dan bagian tubulus.

Bagian glomerulus terletak pada daerah perifer ginjal di dalam korteks ginjal. Glomerulus tersebut terbentuk dari kapsul Bowman dan tubuli nefron yang melekuk, terdiri dari jaringan kapiler arterial. Glomeruli ginjal merupakan keseluruhan kapsul Bowman dan glomerulus vaskuler yang membentuk badan Malphigi yang dapat dilihat dengan mata telanjang ( berukuran 200-300 Mm ).

Bagian tubulus atau tubulus renalis, diawali dengan tubulus contortus proksimalis yang terletak dalam korteks dan kemudian membentuk kapsul Bowman. Selanjutnya adalah loop Henle yang mengikuti nefron, tertanam cukup dalam di medula; ini didahului oleh tubulus kontortus distalis yang terletak di dalam korteks. Tubulus distalis menyebar kedalam tubulus colengentes yang diakhiri oleh pori uniferes dalam kantong. Urin dikumpulkan melalui ureter dan dialirkan ke dalam vesica urinaria.

Ø Ekskresi Lewat Empedu
Pengaliran darah hati menuju canaliculi biliaris serta zat aktif dan metabolitnya yang terbentuk di dalam hati mengikuti hukum umum perlintasan membran. Difusi pasif molekul-molekul tergantung pada ukurannya, sifat fisiko-kimia serta perbedaan konsentrasi. Mekanisme transpor aktif berperan penting pada eliminasi obat khususnya pada metabolit yang lebih polar dibandingkan senyawa induknya seperti trurunan glokoronat. Seperti pada ginjal, pada empedu juga terdapat 2 sistem transpor aktif transmembran. Mekanisme transpor aktif ini penting untuk beberapa molekul antibiotika terutama tetrasiklin.hal ini karena obat dapat menembus saluran empedu sampai konsentrasi yang cukup untuk pengobatan infeksi.

Dengan adanya cairan empedu di dalam duodenum maka zat aktif dan metabolitnya dapat dikeluarkan melalui pembentukan garam, atau zat aktif diserap kembali di usus, jika sifat-sifat fisiko-kimianya dapat melewati sawar usus dan masuk kembali dalm sirkulasi (siklus entero-hepatik). Fenomena ini menyebabkan obat lebih lama berada di dalam tubuh dan pengeluaran secara definitif baru terjadi melalui ginjal.

Ø Eliminasi Lewat Feses
Seperti diketahui zat aktif atau metabolit yang ditiadakan melalui empedu tidak mengalami siklus entero-hepatik. Di dalam feses terdapat pula senyawa yang disekresi oleh getah saluran cerna seperti sekresi ludah (saliva). Feses dapat pula mengandung sejumlah molekul yang dikeluarkan oleh saluran cerna dan tidak diserap kembali oleh mukosa usus. Obat-obat tertentu dapat digunakan untuk memerlukan efek terapi setempat pada sistem pencernaan misalnya sulfaguanidin, bismuth.

Ø Eliminasi Lewat Paru
Sistem pernafasan berperan untuk pengeluaran beberapa senyawa yang berbentuk gas atau zat yang mudah menguap pada suhu tubuh. Gradien tekanan parsiil capillo-alveolaire yang positif dapat mendorong terjadinya difusi pasif sehingga terjadi pengeluaran gas tersebut. Intensitas pengeluaran melalui membran berhubungan erat dengan fenomena ventilasi yang menjamin pembaharuan udara alveoli dan aliran darah di paru. Secara umum pada proses difusi akan terjadi keseimbangan antara tekanan parsiil udara di dalam alveoli dan darah kapiler paru. Penerapan fenomena difusi alveolo-kapiler misalnya pada pengujian alkohol melalui napas, terutama bagi pengendara mobil.

Ø Eliminasi Lainnya
Pengeluaran obat dari tubuh dapat mempengaruhi kerja obat meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa hal itu tidak terlalu berarti, kecuali pada kasus khusus misalnya eliminasi tanpa perubahan bentuk melalui ludah. Oleh sebab itu spiramisin sering diberikan pada stomatologi. Eliminasi yang terbatas ini kadang-kadang dapat digunakan untuk diagnosis adanya alkaloid dalam air ludah. Pengambilan cuplikan ludah pada saat perlombaan pacuan kuda dapat mengontrol adanya “doping” kuda dengan morfin. Selain itu warna merah dari sekresi lakrimalis juga disebabkan oleh rifampisin. Walaupun pengeluaran obat melalui keringat telah lama dikenal seperti jodium, brom, kinin dan sebagainya. Namun mekanisme yang terkait belum diketahui dengan jelas, mungkin bersamaan dengan pembentukan keringat.

Bentuk yang lain dari eliminasi adalah pengeluaran zat aktif melalui air susu ibu (ASI). Dengan mekanisme difusi dan fenomena transpor aktif maka konsentrasi obat tertentu dalam air susu lebih tinggi dibandingkan konsentrasi plasmatik. ASI lebih asam dibanding plasma, sehingga senyaa basa (alkaloid) dapat berdifusi dengan mudah. Molekul-molekul berukuran kecil seperti halnya alkohol dapat segera keluar dan membuat keseimbangan dengan plasm. Meskipun jumlah yang ditemukan kembali dalam ASI jarang yang melebihi 1% dari dosis yang diberikan. Namun hal ini tidak dapat diabaikan karena sistem enzimatik pad bayi belum matang benar, terutamaenzim konjugasi. Demikian pula sisitem saraf pada bayi lebih peka dibandingkan pada orang dewasa.

Orang dewasa juga dapat mengalami masalah berkaitan dengan pengeluaran obat melalui air susu ternak pemakaian penisilin untuk pengobatan mastitis pada sapi perah merupakan awal dari reaksi kepekaan terhadap antibiotika pada manusia. Masalahnya tidak terbatas pada hal di atas, sediaan-sediaan tertentu yang secara luas digunakan pada pertanian terutama yamg daya larut lemaknya besar, seperti pestisida dan herbisida, dapat dikeluarkan melalui susu ternak.

Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dan toksisitas obat maka eliminasi melalui perubahan hayati mempunyai peran yang cukup penting. Karena ginjal berperan dalam proses eliminasi, maka mengingat kinetika obat yang dapat mencapai organ tersebut perli diperhatikan aturan penggunaan untuk semua obat pada penderita dengan kegagalan ginjal.Hal yang sama terjadi pada penderita kegagalan hati dimana terjadi gangguan fungsi perubahan hayati dan pengeluaran empedu.










BAB III
PENUTUP


4.1    Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Laju pelarutan ditentukan oleh kelarutan obat dalam air, pH medium, pKa obat, bentuk, luas spesifik, dan kepadatan kristal atau butiran obat, dan formulasi obat (jenis pengikat, penambah, serta penyalut tablet atau kapsul).
2.      Cara pemakaian obat yang paling umum dan nyaman adalah rute oral. Setelah pelarutan, obat harus mengatasi rintangan membran semipermeabel antara lubang saluran cerna dan peredaran sistemik.
3.      Pemberian obat secara parenteral (bukan oral) sering lebih efisien dan lebih cepat dibandingkan dengan pemberian secara oral, tetapi mungkin saja kurang nyaman, metode yang paling umum dan cepat adalah suntikan intravena ke dalam vena perifer.
4.      Segi yang menarik pada kesetaraan hayati adalah pemilihan waktu pemberian obat yang dihubungkan dengan irama piantan-tubuh manusia (jadwal atau keberkalaan peubah faali yang berlangsung dalam waktu 24 jam), bidang ini disebut kronofarmakologi atau kronoterapi.
5.      Dalam penyebaran obat dimulai dari penyerapan obat atau absorbsi, kemudian distribusi obat dalam tubuh melalui sirkulasi darah dan cairan jaringan dalam tubuh.
6.      Proses eliminasi merupakan proses akhir nasib obat dalam tubuh.

0 komentar

Posting Komentar