Share

Get This


Get this widget!

Selamat datang para kawan semua, Mudah-mudahan dengan adanya web ini dapat bermanfaat

Pages

Jumat, 01 April 2011

Cerita Islami


Senang di Dunia, Senang di Akhirat 

Hampir setiap malam, di teras rumah yang berada di depan rumah saya —maksud saya: rumah kontrakan saya— di daerah pinggiran Jakarta, beberapa pemuda selalu menghabiskan waktu selama beberapa jam untuk bersenang-senang: menikmati lintingan ganja. Duduk melingkar sambil membicarakan apa saja.
Wajah-wajah mereka kusam. Mata di wajah mereka merah. Suara-suara mereka terdengar berat khas orang mabuk. Terkadang tertawa terbahak-bahak. Kencang. Dalam kondisi seperti itu tentu saja mereka tidak bisa diharapkan untuk memahami suasana. Justru kami —saya dan beberapa penghuni kontrakan lain, para pendatang— seolah-olah yang diharuskan memahami kesenangan para pemuda setempat itu.
Membiarkan mereka meski kegaduhan mereka terkadang mengganggu. Apalagi rumah yang terasnya mereka tempati untuk nongkrong, penghuninya adalah keluarga muda yang memiliki bayi baru berumur sekian bulan. Mungkin, para pemuda itu berpikir: kami tidak akan berbuat macam-macam jika kalian membiarkan kami menikmati kesenangan kami. Padahal dengan seperti itu pun mereka sudah berbuat macam-macam.
Mereka akan bubar jika lintingan-lintingan ganja itu telah habis. Setelah itu mereka melanjutkan dengan kesenangan yang lain, yaitu bermain remi sambil berjudi kecil-kecilan, sampai dini hari. Hampir setiap hari mereka seperti itu. Kecuali jika mereka kehabisan ‘bekal’. Untuk beberapa hari, teras rumah yang berada di depan rumah saya itu akan sepi. Setelah bekal kembali terkumpul, mereka pun melanjutkan kesenangan mereka.
Setiap kali melihat para pemuda itu menikmati kesenangan mereka, saya selalu teringat kisah dalam al-Risslah al-Qusyayriyyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, sebuah kitab tentang tasawuf yang telah berusia lebih dari seribu tahun karya Abu Qasim al-Qusyairi.
Suatu ketika, seorang sufi bernama Ma’ruf al-Kurkhi sedang duduk-duduk bersama murid-muridnya. Kemudian, lewatlah rombongan yang tampaknya sedang merayakan sesuatu. Mereka memainkan alat-alat musik dan bernyanyi-nyanyi sambil meminum minuman keras.
“Lihatlah orang-orang itu,” kata salah seorang muridnya. “Mereka berbuat maksiat secara terang-terangan. Mereka tidak malu kepada Tuhan. Maka, apalagi kepada sesama manusia.”
“Doakanlah mereka agar celaka,” kata si murid kepada Ma’ruf.
Di mana-mana, guru akan selalu lebih bijak daripada murid-muridnya. Sebab itulah orang Jawa mengatakan, ‘guru’ adalah singkatan dari ‘digugu lan ditiru’ yang artinya ‘dituruti dan diteladani’. Jika ada orang yang dianggap guru tapi tak berperilaku selayaknya guru, sehingga tak patut digugu lan ditiru, ia akan tetap menjadi guru, hanya saja dengan singkatan yang berbeda, yaitu ‘guru’ singkatan dari ‘wagu tur saru’ yang artinya ‘tak pantas dan cabul’.
Ma’ruf al-Kurkhi kemudian mengangkat tangannya. Ia berdoa, “Ya Tuhanku! Seperti mereka bisa bersenang-senang di dunia ini, buatlah mereka bisa bersenang-senang di akhirat nanti.”
“Kami tidak memintamu berdoa seperti itu,” kata si murid.
Ma’ruf al-Kurkhi menjawab, “Jika di akhirat kelak mereka bisa bersenang-senang, artinya Tuhan mengampuni maksiat mereka di dunia.”
Ma’ruf ingin mengajarkan kepada para muridnya bahwa dunia adalah tempat kemungkinan-kemungkinan. Apa yang tampak buruk tidak selalu akan berakhir tetap dalam kondisi buruk. Sebab itu, ia tak perlu dikutuk.
Itulah yang disebut dengan al-raja’ dalam ilmu tasawuf, yaitu mengharap segala sesuatu menjadi baik, atau berakhir dengan kebaikan. Orang yang menjaga al-raja’ dalam dirinya tidak akan pernah merasa puas dengan kebaikan, dan sebab itu ia tidak mengutuk keburukan, tapi berharap keburukan itu akan menjadi atau berakhir dengan kebaikan.
***
Juman Rofarif – detikRamadan,
Editor di Penerbit Serambi Jakarta.

·                                 Kisah Hajar Aswad 

Ibrahim as diperintahkan Allah Swt membangun kembali Ka’bah. Ia memenuhi perintah itu dibantu putranya, Isma’il as. Saat hampir selesai mengerjakannya, Ibrahim as merasa ada yang kurang pada Ka’bah. Kemudian ia memerintahkan putranya, “Pergilah engkau mencari sebuah batu lagi yang akan aku letakkan di Ka’bah sebagai penanda bagi manusia.”
Isma’il as mematuhi perintah ayahnya. Ia pergi dari satu bukit ke bukit lain untuk mencari batu yang paling baik. Ketika sedang mencari, malaikat Jibril datang pada Isma’il as dan memberinya sebuah batu yang cantik. Dengan senang hati ia menerima batu itu dan segera membawa batu itu untuk diberikan pada ayahnya. Ibrahim as pun gembira dan mencium batu itu beberapa kali.
Kemudian Ibrahim as bertanya pada putranya, “Dari mana kamu peroleh batu ini?” Isma’il as menjawab, “Batu ini aku dapat dari yang tidak memberatkan cucuku dan cucumu.” Ibrahim as mencium batu itu lagi dan diikuti juga oleh Isma’il as.
Begitulah, sampai saat ini banyak yang berharap bisa mencium batu yang dinamai Hajar Aswad itu. Umar bin Khathab pernah menyambaikan bahwa Rasulullah Saw sendiri pernah menciumnya. Saat Umar bin Khaththab berada di hadapan Hajar Aswad dan menciumnya ia berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa engkau hanyalah sebongkah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Saw menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (Hadits no 228 Kitab Sahih Muslim).
Karena sangat bersejarahnya, ada juga orang yang ingin mencuri Hajar Aswad. Di akhir bulan Muharram 1351 H, datanglah seorang laki-laki ke Ka’bah. Ia mencungkil Hajar Aswad, mencuri potongan kain Kiswah, dan membawa sepotong perak dari tangga Ka’bah. Untunglah, penjaga masjid mengetahuinya, laki-laki itu pun ditangkap dan dihukum. Tanggal 28 Rabi’ul Akhir tahun yang sama, dilakukan penempelan kembali bongkahan batu itu ke tempat asalnya.
Sebelumnya perekatan itu, dilakukan penelitian oleh para ahli mengenai bahan perekat yang digunakan. Akhirnya ditemukan perekat berupa bahan kimia yang dicampur dengan minyak misik dan ambar. (imam)
***
ramadan.detik.com/read/2010/08/27/093602/1429109/985/kisah-hajar-aswad

·                       

Kemuliaan Taat Kepada Ibu 

Suatu saat Rasulullah Saw bercerita kepada para sahabat, “Sungguh, kelak ada orang yang termasuk tabi’in terbaik yang bernama Uwais. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepadanya. Sehingga, kalau dia mau berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Dia punya sedikit bekas penyakit kusta. Oleh karena itu, perintahkan dia untuk berdoa, niscaya dia akan memintakan ampun untuk kalian.” (HR Muslim).
Bernama lengkap Uwais Al-Qarni, ia tinggal bersama ibunya di negeri Yaman. Setiap hari ia menggembalakan domba milik orang lain. Upah yang diterimanya cukup untuk biaya hidup bersama ibunya. Bila ada kelebihan dari upahnya itu terkadang ia berikan kepada tetangganya yang kekurangan.
Ia termasuk orang yang taat beribadah, selalu menjalankan ajaran yang dibawa Rasulullah Saw. Ia punya suatu keinginan yang belum terlaksana sejak lama yaitu bertemu dengan Rasulullah Saw. Keinginan itu kian memuncak setiap kali melihat tetangganya yang baru pulang dari Madinah dan sempat bertemu Rasulullah Saw. Tetapi apa daya, ibunya sudah tua renta dan sangat lemah. Ia begitu menyayanginya sehingga tak tega meninggalkannya sendiri.
Semakin hari kerinduan bertemu Rasulullah Saw bertumpuk. Ia sangat gelisah mengingat-ingat itu. Suatu hari kerinduannya tak tertahan lagi, ia memberanikan diri mengungkapkan perasaan itu kepada ibunya. Mendengar curahan hati anaknya, ibunya terharu, ia pun diijinkan menemui Rasulullah Saw.
Namun kerinduan itu tak sempat terobati karena saat ia datang, Rasulullah Saw sedang tak berada di rumah. Ingin sekali ia menunggu, tetapi ia teringat pesan ibunya untuk segera pulang. Ia pun memilih taat ibunya dan segera berpamitan pada ‘Aisyah.
Ketika Rasulullah Saw kembali, beliau menanyakan tentang seseorang yang mencarinya. ‘Aisyah menjelaskan kedatangan Uwais. Kemudian Rasulullah Saw mengatakan Uwais yang taat pada ibunya itu penghuni langit. Rasulullah Saw meneruskan keterangan tentang Uwais kepada para sahabat. Seraya memandang Ali dan beliau mengatakan, “Suatu ketika jika kalian bertemu dengan Uwais mintalah doa dan istighfar darinya.” (imam)
***
ramadan.detik.com/read/2010/08/28/160402/1430145/985/kemuliaan-taat-kepada-ibu




·                                 Dahsyatnya Sedekah 

Dimanakah letak kedahsyatan hamba-hamba Allah yang bersedekah? Dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ahmad, sebagai berikut :
Tatkala Allah SWT menciptakan bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Allah pun menciptkan gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya? “Ya Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada gunung?” Allah menjawab, “Ada, yaitu besi” (Kita mafhum bahwa gunung batu pun bisa menjadi rata ketika dibor dan diluluhlantakkan oleh buldozer atau sejenisnya yang terbuat dari besi).
Para malaikat pun kembali bertanya, “Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada besi?”
Allah yang Mahasuci menjawab, “Ada, yaitu api” (Besi, bahkan baja bisa menjadi cair, lumer, dan mendidih setelah dibakar bara api).
Bertanya kembali para malaikat, “Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada api?”
Allah yang Mahaagung menjawab, “Ada, yaitu air” (Api membara sedahsyat apapun, niscaya akan padam jika disiram oleh air).
“Ya Rabbi adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari air?” Kembali bertanya para malaikat.
Allah yang Mahatinggi dan Mahasempurna menjawab, “Ada, yaitu angin” (Air di samudera luas akan serta merta terangkat, bergulung-gulung, dan menjelma menjadi gelombang raksasa yang dahsyat, tersimbah dan menghempas karang, atau mengombang-ambingkan kapal dan perahu yang tengah berlayar, tiada lain karena dahsyatnya kekuatan angin. Angin ternyata memiliki kekuatan yang teramat dahsyat).
Akhirnya para malaikat pun bertanya lagi, “Ya Allah adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih dari semua itu?”
Allah yang Mahagagah dan Mahadahsyat kehebatan-Nya menjawab, “Ada, yaitu amal anak Adam yang mengeluarkan sedekah dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya.”
Artinya, orang yang paling hebat, paling kuat, dan paling dahsyat adalah orang yang bersedekah tetapi tetap mampu menguasai dirinya, sehingga sedekah yang dilakukannya bersih, tulus, dan ikhlas tanpa ada unsur pamer ataupun keinginan untuk diketahui orang lain.
Inilah gambaran yang Allah berikan kepada kita bagaimana seorang hamba yang ternyata mempunyai kekuatan dahsyat adalah hamba yang bersedekah, tetapi tetap dalam kondisi ikhlas. Karena naluri dasar kita sebenarnya selalu rindu akan pujian, penghormatan, penghargaan, ucapan terima kasih, dan sebagainya. Kita pun selalu tergelitik untuk memamerkan segala apa yang ada pada diri kita ataupun segala apa yang bisa kita lakukan. Apalagi kalau yang ada pada diri kita atau yang tengah kita lakukan itu berupa kebaikan.
Karenanya, tidak usah heran, seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dahsyat. Sungguh ia tidak akan kalah oleh aneka macam selera rendah, yaitu rindu pujian dan penghargaan.
Apalagi kedahsyatan seorang hamba yang bersedekah dengan ikhlas? Pada suatu hari datang kepada seorang ulama dua orang akhwat yang mengaku baru kembali dari kampung halamannya di kawasan Jawa Tengah. Keduanya kemudian bercerita mengenai sebuah kejadian luar biasa yang dialaminya ketika pulang kampung dengan naik bis antar kota beberapa hari sebelumnya. Di tengah perjalanan bis yang ditumpanginya terkena musibah, bertabrakan dengan dahsyatnya. Seluruh penumpang mengalami luka berat. Bahkan para penumpang yang duduk di kurs-kursi di dekatnya meninggal seketika dengan bersimbah darah. Dari seluruh penumpang tersebut hanya dua orang yang selamat, bahkan tidak terluka sedikit pun. Mereka itu, ya kedua akhwat itulah. Keduanya mengisahkan kejadian tersebut dengan menangis tersedu-sedu penuh syukur.
Mengapa mereka ditakdirkan Allah selamat tidak kurang suatu apa? Menurut pengakuan keduanya, ada dua amalan yang dikerjakan keduanya ketika itu, yakni ketika hendak berangkat mereka sempat bersedekah terlebih dahulu dan selama dalam perjalanan selalu melafazkan zikir.
Sahabat, tidaklah kita ragukan lagi, bahwa inilah sebagian dari fadhilah (keutamaan) bersedekah. Allah pasti menurunkan balasannya disaat-saat sangat dibutuhkan dengan jalan yang tidak pernah disangka-sangka. Allah Azza wa Jalla adalah Zat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada semua hamba-Nya. Bahkan kepada kita yang pada hampir setiap desah nafas selalu membangkang terhadap perintah-Nya pada hampir setiap gerak-gerik kita tercermin amalan yang dilarang-Nya, toh Dia tetap saja mengucurkan rahmat-Nya yang tiada terkira.
Segala amalan yang kita perbuat, amal baik ataupun amal buruk, semuanya akan terpulang kepada kita. Demikian juga jika kita berbicara soal harta yang kini ada dalam genggaman kita dan kerapkali membuat kita lalai dan alpa. Demi Allah, semua ini datangnya dari Allah yang Maha Pemberi Rizki dan Mahakaya. Dititipkan-Nya kepada kita tiada lain supaya kita bisa beramal dan bersedekah dengan sepenuh ke-ikhlas-an semata-mata karena Allah. Kemudian pastilah kita akan mendapatkan balasan pahala dari pada-Nya, baik ketika di dunia ini maupun saat menghadap-Nya kelak.
Dari pengalaman kongkrit kedua akhwat ataupun kutipan hadits seperti diuraikan di atas, dengan penuh kayakinan kita dapat menangkap bukti yang dijanjikan Allah SWT dan Rasul-Nya, bahwa sekecil apapun harta yang disedekahkan dengan ikhlas, niscaya akan tampak betapa dahsyat balasan dari-Nya.
Inilah barangkali kenapa Rasulullah menyerukan kepada para sahabatnya yang tengah bersiap pergi menuju medan perang Tabuk, agar mengeluarkan infaq dan sedekah. Apalagi pada saat itu Allah menurunkan ayat tentang sedekah kepada Rasulullah SAW, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui,” demikian firman-Nya (QS. Al-Baqarah [2] : 261).
Seruan Rasulullah itu disambut seketika oleh Abdurrahman bin Auf dengan menyerahkan empat ribu dirham seraya berkata, “Ya, Rasulullah. Harta milikku hanya delapan ribu dirham. Empat ribu dirham aku tahan untuk diri dan keluargaku, sedangkan empat ribu dirham lagi aku serahkan di jalan Allah.”
“Allah memberkahi apa yang engkau tahan dan apa yang engkau berikan,” jawab Rasulullah.
Kemudian datang sahabat lainnya, Usman bin Affan. “Ya, Rasulullah. Saya akan melengkapi peralatan dan pakaian bagi mereka yang belum mempunyainya,” ujarnya.
Adapun Ali bin Abi Thalib ketika itu hanya memiliki empat dirham. Ia pun segera menyedekahkan satu dirham waktu malam, satu dirham saat siang hari, satu dirham secara terang-terangan, dan satu dirham lagi secara diam-diam.
Mengapa para sahabat begitu antusias dan spontan menyambut seruan Rasulullah tersebut? Ini tiada lain karena yakin akan balasan yang berlipat ganda sebagaimana telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Medan perang adalah medan pertaruhan antara hidup dan mati. Kendati begitu para sahabat tidak ada yang mendambakan mati syahid di medan perang, karena mereka yakin apapun yang terjadi pasti akan sangat menguntungkan mereka. Sekiranya gugur di tangan musuh, surga Jannatu naÃÊm telah siap menanti para hamba Allah yang selalu siap berjihad fii sabilillaah. Sedangkan andaikata selamat dapat kembali kepada keluarga pun, pastilah dengan membawa kemenangan bagi Islam, agama yang haq!
Lalu, apa kaitannya dengan memenuhi seruan untuk bersedekah? Sedekah adalah penolak bala, penyubur pahala dan pelipat ganda rizki; sebutir benih menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap bulir itu terjurai seratus biji. Artinya, Allah yang Mahakaya akan membalasnya hingga tujuh ratus kali lipat. Masya Allah!
Sahabat, betapa dahsyatnya sedekah yang dikeluarkan di jalan Allah yang disertai dengan hati ikhlas, sampai-sampai Allah sendiri membuat perbandingan, sebagaimana tersurat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, seperti yang dikemukakan di awal tulisan ini.
***
Oleh: K.H. Abdullah Gymnastiar

·                            

Tangisan Seorang Pemimpin Yang Takut Pada Alloh 

UMAR bin ABDUL AZIZ, Dia seorang hafizh, mujtahid, sangat mendalam ilmunya, zuhud,ahli ibadah dan sosok pemimpin kaum Muslimin yang sejati. Dia juga disebut Abu Hafsh,dari suku Quraisy,Bani Umayyah. Istrinya, Fathimah pernah berkata, “ Dikalangan kaum laki-laki memang ada yang shalat dan puasanya lebih banyak dari Umar. Tetapi aku tidak melihat seorangpun yang lebih banyak ketakutannya kepada Allah daripada Umar, jika masuk rumah ia langsung menuju tempat shalatnya, bersimpuh dan menangis sambil berdoa kepada Alloh hingga tertidur. Kemudian dia bangun dan berbuat seperti itu sepanjang malam.”
Takkala menyampaikan khutbah terakhirnya, Umar bin Abdul Aziz naik keatas mimbar, memuji Alloh, lalu berkata, “ Sesungguhnya ditanganmu kini tergenggam harta orang-orang yang binasa. Orang-orang yang hidup pada generasi mendatang akan meninggalkannya, seperti yang telah dilakukan oleh generasi yang terdahulu. Tidakkah kamu ketahui bahwa siang dan malam kamu sekalian mengarak jasad yang siap menghadap Allah, lalu kamu membujurkannya di dalam rekahan bumi, tanpa tikar tanpa bantal, lalu kamu menimbunnya dalam kegelapan bumi ?. Jasad itu telah meninggalkan harta dan kekasih-kekasihnya. Dia terbujur dikolong bumi, siap menghadap hisab. Dia tak mampu berbuat apa-apa menghadapi keadaan sekitarnya dan tidak lagi membutuhkan semua yang ditinggalkannnya. Demi Allah, kusampaikanhal ini kepadamu sekalian, karena aku tidak tahu apa yang terbatik didalam hati seorang seperti yang kuketahui pada diriku sendiri “
Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz menarik ujung bajunya, menyeka air mata, lalu turun dari mimbar. Sejak itu dia tidak keluar rumah lagi kecuali setelah jasadnya sudah membeku.
Diriwayatkan dari Abdus-Salam, mantan budak Maslamah bin Abdul Malik, dia berkata: “ Umar bin Abdul Aziz pernah menangis, melihat ia menangis, istrinya dan semua anggota keluarganya pun ikut menangis, padahal mereka tidak tahu persis apa pasalnya mereka ikut-ikutan menangis”.
Setelah suasana reda, Fathimah, istrinya bertanya: “Demi ayahku sebagai jaminan, wahai Amirul Mukminin, apa yang membuat engkau menangis? “. Umar bin Abdul aziz menjawab, “ Wahai fathimah, aku ingat akan persimpangan jalan manusia takkala berada di hadapan Alloh, bagaimana sebagian diantara mereka berada di sorga dan sebagian lain berada di neraka
***



·                                 Kisah Rasulullah dan Seorang Badui 

PADA suatu masa, ketika Nabi Muhammad SAW sedang tawaf di Kaabah, baginda mendengar seseorang di hadapannya bertawaf sambil berzikir: “Ya Karim! Ya  Karim!”
Rasulullah SAW meniru zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!”
Orang itu berhenti di satu sudut Kaabah dan menyebutnya lagi “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah yang berada di belakangnya menyebutnya lagi “Ya Karim!   Ya Karim!”
Orang itu berasa dirinya di perolok-olokkan, lalu menoleh ke belakang dan dilihatnya seorang lelaki yang sangat tampan dan gagah yang belum pernah di lihatnya.
Orang itu berkata, “Wahai orang tampan, apakah engkau sengaja mengejek-ngejekku, karena aku ini orang badui? Kalaulah bukan karena ketampanan dan kegagahanmu akan kulaporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”
Mendengar kata-kata orang badwi itu, Rasulullah SAW tersenyum lalu berkata: “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?”
“Belum,” jawab orang itu.
“Jadi bagaimana kamu beriman kepadanya?” tanya Rasulullah SAW.
“Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya walaupun saya belum pernah bertemu dengannya,” jawab orang Arab badwi itu.
Rasulullah SAW pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab, ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat.”
Melihat Nabi di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya lalu berkata, “Tuan ini Nabi Muhammad?” “Ya,” jawab Nabi SAW.
Dengan segera orang itu tunduk dan mencium kedua-dua kaki Rasulullah SAW.
Melihat hal itu Rasulullah SAW menarik tubuh orang Arab badwi itu seraya  berkata, “Wahai orang Arab, janganlah berbuat seperti itu. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan oleh seorang hamba sahaya kepada tuannya. Ketahuilah, Allah mengutus aku bukan untuk menjadi seorang yang takabur,  yang minta dihormati atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman dan membawa berita menakutkan bagi yang mengingkarinya.”
Ketika itulah turun Malaikat Jibril untuk membawa berita dari langit, dia berkata, “Ya Muhammad, Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: “Katakan kepada orang Arab itu, agar tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahwa Allah akan menghisabnya di Hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil mahupun yang besar.”
Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi. Orang Arab itu pula berkata, “Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan denganNya.”
Orang Arab badwi berkata lagi, “Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran magfirahNya. Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa luasnya pengampunanNya. Jika Dia memperhitungkan kebakhilan hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa dermawanNya.”
Mendengar ucapan orang Arab badwi itu, maka Rasulullah SAW pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu sehingga air mata meleleh membasahi janggutnya.
Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata, “Ya Muhammad, Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: “Berhentilah engkau daripada menangis, sesungguhnya karena tangisanmu, penjaga Arasy  lupa bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga ia bergoncang. Sekarang katakan kepada temanmu itu, bahwa Allah tidak akan menghisab dirinya, juga tidak akan menghitung kemaksiatannya. Allah sudah mengampunkan semua kesalahannya dan akan menjadi temanmu di syurga nanti.”
Betapa sukanya orang Arab badwi itu, apabila mendengar berita itu dan menangis karena tidak berdaya menahan rasa terharu.
***
Dari Sahabat

 

Suara Emas dari Ethiopia 

Bilal bin Rabah: Suara Emas dari Ethiopia Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Rasulullah.
“Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu,” demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal. “Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu,” kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.
Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan nabi tercinta.
Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal. Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal mengumandangkan adzan. Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan air mata. “Marhaban ya Rasulullah,” bisik salah seorang dari mereka.
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat. Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakamkan. Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalimat, “Asyhadu anna Muhammadarrasulullah.” Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk adzan. “Adzanlah wahai Bilal,” perintah Abu Bakar. Dan Bilal menjawab perintah itu, “Jika engkau dulu membebaskan demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku.” “Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal,” kata Abu Bakar. “Maka biarkan aku memilih pilihanku,” pinta Bilal. “Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah,” lanjut Bilal. “Kalau demikian, terserah apa maumu,” jawab Abu Bakar.
***
Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan Ethiopia.
Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.
Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.
Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal disiksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang membebaskannya dengan sejumlah uang tebusan.
Bisa dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika berkata, orang yang pertama kali menampakkan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela. Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan walinya, itu lebih cukup dari segalanya.
Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, “Ahad, ahad,” puluhan kali dari bibirnya yang mengeluarkan darah.
Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak di mata Allah. Ada satu riwayat yang membuktikan betapa Allah memberikan kedudukan yang mulai di sisi-Nya.
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah. “Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu.” Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. “Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat.”
“Ya, dengan itu kamu mendahului aku,” kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah. Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak belian dari Habasya, Ethiopia. Tak kurang dan tak lebih.
Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar mengunjunginya. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya. Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
“Ya Allah, selamatkanlah umat Islam yg sedang sengsara di Lubnan, Palestin, Afghanistan, Iraq, Chechnya serta diseluruh pelosok dunia akibat dari angkara mungkar dan kekejaman musuh-musuh Mu. Peliharakanlah mereka, lindungilah mereka, kasihanilah mereka dan berikanlah rahmatMu ke atas mereka.
Amin, ya Rabbal A’lamin.”
***
Dari Sahabat

0 komentar

Posting Komentar